UPT LAYANAN DISABILITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN RESOURCE CENTRE  KOTA YOGYAKARTA, QUO VQDIS ?

UPT LAYANAN DISABILITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN RESOURCE CENTRE

KOTA YOGYAKARTA, QUO VQDIS ?

Oleh : Drs. Aris Widodo, M Pd*

 

UUD Repoblik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan UUD tersebut, dalam batang tubuh konstitusi tersebut diantaranya pasal 20, 21, 28 C ayat (1), pasal 31,. 32 , juga mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan mmenyelenggarakan  satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Dirjend PKLK. 2014 : 1). Sistem pendidikan nasional tersebut harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

                 Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ekonomi,suku, etnis, agama, gender, kemampuan dan lain-lainnya.  Pemerataan akes dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills), sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila, sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang Undang No. 20  tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional .

                 Konvensi Internasional  tentang hak hak penyandang disabilitas (Convention on the Right of Person with disabilities) telah ditandatangani 147 negara termasuk diantaranya  Indonesia. Selanjutnya Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui undang undang nomor 19 tahun 2011 tentang Ratifikasi konvensi penyandang disabilitas yang di syahkan melalui sidang Paripurna DPR-RI tgl 18 Oktober 2011. Pada pasal 21 dari konvensi ini disebutkan bahwa :

Negara negara Pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas pendidikan, dalam rangka memenuhi hal ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama, negara negara Pihak harus menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran seumur hidup yang terarah.

(Direktorat PKLK: 2014 : 2).

            Jauh sebelum dokumen tersebut di atas diterbitkan, negara Indonesia telah memiliki Pembukaan UUJD 45 yang mengamanatkan bahwa Pemerintah Repoblik Indonesia bertujuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Anak Berkebutuhan Khusus  (ABK) dan “the unreach”

                 Realita di lapangan menunjukkan  bahwa belum semua warga negara memperoleh hak dalam mendapatkan pendidikan seperti yang diamanatkan Undang Undang. Hal ini disebabkan banyak faktor, diantaranya : geografis, ekonomi, budaya, disabilitas, tuntutan pekerjaan, bencana, konflik, bias gender, dan lain lain. SEAMEO-UNESCO menyebutkan bahwa anak anak yang memiliki peluang untuk tidak mendapatkan pendidikan di kenal dengan “the unreach”, yang mencakup 11 kategori, sebagai berikut :

  1. Peserta didik yang berada di daerah terpencil.
  2. Peserta didik dari kelompok minoritas agama/suku, dll
  3. Anak anak rentan drop olut (DO).
  4. Anak anak dari keluarga migran, pengungsian, tidak memiliki identitas kewarganegaraan, penduduk nomaden.
  5. Peserta didik penyandang cacat/ berkebutuhan khusus.
  6. Pekerja anak anak/ anak jalanan/ anak anak yang diperdagangkan, anak korban kekerasan.
  7. Anak dilingkungan bermasalah (daerah konflik, bencana, penjara, dll).
  8. Anak yatim/ anak terlantar.
  9. Peserta didik dari keluarga miskin.
  10. Anak anak yang terkena HIV/ AIDS.
  11. Anak dan / atau penduduk di daerah perbatasan dan para buruh migran Indonesia (TKI) di sejumlah negara.

(Direktorat PKLK : 2011 : 3).

             Anak disabilitas adalah anak yang mengalami ketidakmampuan dalam melakukan fungsi tertentu disebabkan karena adanya kerusakan (ketunaan) pada aspek perkembangan tertentu.  Ada yang menyebutnya sebagai anak berkelainan, dalam dunia pendidikan biasa disebut sebagai Anak berkebutuhan Khusus (ABK). Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 2 telah dijamin  bahwa ABK berhak memperoleh layanan pendidikan yang khusus. ABK ini adalah anak yang karena kekhususannya dia mengalami gangguan dalam proses belajar, termasuk di dalamnya anak dengan bakat dan kecerdasan istimewa.

            Salah satu upaya memenuhi hak hak ABK tersebut adalah dengan menyelenggarakan layanan  Pendidikan Luar Biasa (SLB), bahkan untuk meningkatkan aksesibilitas agar masyarakat difabel mampu didekatkan dengan sekolah yang diinginkan maka dilayani dengan Pendidikan Inklusi, yaitu pendidikan sekolah reguler / Sakolah Umum yang menerima anak berkebutuhan khusus  (ABK) untuk belajar bersama sama dengan anak normal lainnya dalam kelas yang sama.

             Pendidikan inklusi bukannya tanpa masalah, banyak hal yang harus disiapkan agar sekolah umum dapat dan mampu melayani ABK. Mulai dari sarana prasarana pendidikan , kurikulum sampai SDM gurunya harus dilakukan banyak pelatihan. Banyak ABK memerlukan modifikasi kurikulum karena mengalami keterbatasan secara intelektual maupun karena kecacatan secara fisik. Ada ABK yang karena lemah mental dia tidak mampu berfikir abstrak, sehingga tidak mampu mengerjakan soal soal matematika yang levelnya sudah agak rumit, menurut Makmun Khairani masuk katagori kesulitan belajar berat (Makmun Khairani.2013 : 188). Andaikata ditambah waktu pembelajaranpun tidak mengalami kemajuan yang signifikan, maka sekolah perlu membuatkan rencana pembelajaran individual (RPP) dengan life skills yang sesuai dengan bakat dan minat ABK tersebut. Hal ini membutuhkan  peran profesional dari Guru Pendamping Khusus (GPK). Di jenjang Sekolah dasar  life skills untuk anak usia mental SD sebatas bagaimana anak mampu menolong dirinya  sendiri atau program Activity Daily Living (ADL). Tetapi untuk jenjang SMK akan lain lagi GPK perlu mendampingi dengan kemampuan yang lebih profesional karena harus mendampingi agar ABK mampu mandiri, mampu bekerja , tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat ketika lulus dari SMK/ SMA, lagi pula hal ini sejalan dengan kurikulum SMK yaitu memberikan bekal ketrampilan untuk memasuki dunia kerja (life skills).

            Layanan untuk ABK idealnya idealnya diawali dengan melakukan identivikasi dan asesmen untuk menentukan jenis ke ABK-an dan profil siswa, setelah itu baru dilakukan modifikasi kurikulum maupun layanan kompensatoris sesuai kebutuhan siswa yang tercermin dari rekomendasi dalam asesmen siswa. Proses ini membutuhkan ketrampilan yang diperoleh dari diklat dan workshop pendidkan inklusi. Peran tersebut selama ini dilaksanakan oleh Pusat Sumber Pendidikan Inklusi (Resource Centre Pendidikan Inklusi Kota Yogyakarta).Jenis layanan yang sudah dilaksanakan diantaranya : asesmen siswa, workshop Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI), Diklat Pendidikan Inklusi bagai Guru kelas dan Guru mapel, konferensi Kasus, Sosialisasi Pendidikan Inklusi, dsb.

               Untuk mengelola pendidikan inklusi diperlukan beberapa syarat yang dapat menjamin secara minimal kelancaran pendidikan inklusi , yaitu adanya fasilitas , aksesibilitas layanan bagi Anak berkebutuhan khusus, Guru Pendamping khusus dan adanya layanan pendukung atau Pusat Sumber Pendidikan Inklusi. Pusat Sumber Pendidikan Inklusi di kota Yogyakarta sudah ada sejak tahun 2015 dengan nama Resource Centre Pendidikan Inklusi, kemudian pada akhir Desember 2016 ditingkatkan kelembagaannya dan disesuaikan dengan amanat Undang Undang Disabilitas dengan nama Unit Layanan Disabilitas Kota Yogyakarta dengan sekretariat di Kompleks SD Pujokusuman 1 Yogyakarta.

 

Solusi Pendirian UPT Layanan Disabilitas Bidang Pendidikan

            Selama ini dari tahun ke tahun permasalahan anak yang di tolak di sekolah reguler karena berkebutuhan khusus selalu ada. Alasan penolakan karena tidak ada Guru Pendamping Khusus (GPK), tidak punya fasilitas pembelajaran ABK, tidak dapat melakukan asesmen bagi ABK, dan sebagainya. Hal ini selalu menjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh sekolah dan akhirnya harus diselesaikan oleh Seksi Manajemen Sekolah Dikdas  Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta,  yang ditugasi mengampu Pendidikan Inklusi di Kota Yogyakarta.

Oleh karena itu adanya UPT ULD ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

  1. untuk memberikan layanan pendukung dalam memperlancar pelaksanaan pendidikan inklusi di SPPI.
  2. Membantu layanan diklat peningkatan kompetensi Guru Kelas dan Guru Mapel dalam pendampingan ABK,
  3. Membantu layanan diklat vokasional bagi ABK,
  4. Membantu layanan asesmen bagi ABK.

                  Kompleksitas dalam pengelolaan Pendidikan Inklusi berpengaruh kepada beban kerja dari organisasi perangkat daerah (dinas) yang membidangi Pendidikan inklusi. Peningkatan beban kerja tersebut dapat berpengaruh pada kinerja pelayanannya. Agar kinerja pelayanan  pendidikan inklusi berjalan   optimal,  Dinas Pendidikan   mengusulkan untuk membentuk  unit  pelaksana  teknis  pada  Dinas Pendidikan  untuk  melaksanakan  sebagian  tugas  dan  fungsi kegiatan teknis operasional Pendidikan Inklusi. Hal ini yang disebut sebagai pemisahan fungsi regulator dan operator.

Regulator adalah pihak yang mengembangkan kebijakan, norma, dan standar, bagi pelaksanaan pelayanan publik. Regulator kemudian juga melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian agar pelaksanaan  pelayanan  publik  bisa  berjalan  sesuai  koridor  yang  telah  ditetapkan.  Sedangkan operator adalah pelaksana pelayanan/ pelaksana tugas teknis operasional yang melakukan perencanaan dan implementasi kegiatan sesuai arahan dari regulator.

Pemerintah Daerah melalui Perangkat Daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan dalam melaksanakan kegiatan  teknis operasionalnya dapat membentuk unit pelaksana teknis, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No 56 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Permendagri No 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.

Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pendidikan mengajukan pembentukan UPT ( Unit Pelaksana Teknis ) Unit Layanan Disabilitas (ULD) Kota Yogyakarta,  dimana pelayanan pengelolaan pendidikan inklusi dari tahun 2008 – 2015 menjadi tanggung jawab Seksi (Kasi) Manajemen Sekolah Bidang Pendidikan Dasar dan pada tahun 2016-2017 saat ini menjadi tanggung jawab Kepala Bidang Pembinaan SMP  Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Idealnya pelayanan Pendidikan Inklusi dilaksanakan lebih serius , tidak sekedar dititipkan pada salah satu seksi atau bidang saja. Oleh karena itu adanya suatu UPT Layanan Disabilitas Bidang Pendidikan dan Resource Centre menjadi harapan semakin meningkatnya kualitas layanan pendidikan iklusi di Kota Yogyakarta.

 

Harapan

Seiring dengan makin meningkatnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat Kota Yogyakarta terhadap pelayanan pendidikan inklusi, maka pemisahan peran regulator dan operator sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan, maka pembentukan UPT Unit Layanan Disabilitas Kota Yogyakarta dirasakan sangat urgen untuk segera diwujutkan.

 

*Drs. Aris Widodo, M Pd , Kepala Unit Layanan Disabilitas Bidang Pendidikan dan Resource Centre.